PERAN MEDIA SOSIAL DALAM KONTRESTATI
POLITIK
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
FARHADI
411206619
Prodi Komunikasi Dan Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah Dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda
Aceh
2015/2016
Kata pengantar
Dengan menyebut nama Allah Swt dan
selawat kepada baginda nabi besar Muhammad Saw ,Allhamdulillah atas ijin dan
rahmatnya sehingga saya bisa menyelaikan tugas mata kuliah komunikasi politik,
dimana dalam makalah ini saya menjelaskan
mengenai Peran Media Sosial Dalam
Kontrestati Politik, dimana ada kekurangan dan kejanggalan mohan di
mengerti.
Daftar isi
Bab I
…………………………………………………………………………………1
Pendahuluan;……………………………………………………………………….1
Latar
belakang masalah ……………………………………………...…………..1
Bab II
……………………………………………………………………………..…1
Pembahasan;
……………………………………………….………………………1
A.
Pengertian dan Peran Sosial Media ……………………………...………1
B.
Peran Sosial Media Untuk Kampanye …………………………………..2
C.
Kekurangan Kampanye Melaui Sosial Media …………………………...3
D.
Peran Media dan Opini Publik dalam Politik Luar Negeri ………………5
E.
Media Massa Sebagai Alat Pertarungan Elit Politik ……………………..7
F. Media Dalam Kontrestati
Politik ………………………………………...10
F.-”Framing” Dan Ideologi
……………………………………………..…10
- Pengaruh Media ……………………………………………………..….11
Bab III
…………………………………………………………………………..……12
Kesimpulan
………………………………………………………………...……..13
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dunia informasi dan
tekhnologi yang semakin canggih saat ini, membuat keseluruhan produk hasil
rekayasa tekhnologi menjadi bagian hidup tersendiri dalam masyarakat untuk
berkomunikasi. Salah satunya adalah “Sosial Media” yang sedang menjadi trend
masyarakat, terutama kaum muda untuk memanfaatkannya sebagai jejaring dalam
berkomunikasi.
Hal inilah yang rupanya
menjadi incaran tersendiri bagi para figur panggung politik yang akan menaiki
tahta kepresidenan untuk berkampanye dan menjaring seluruh komunitas dalam
masyarakat melalui sosial media. Namun sebelumnya, kita harus mengetahui apa
sosial media, dan peranan apa yang dilakukan oleh sosial media dalam
berkampanye?
BAB
II
PEMBAHASAN
Peran
Media Sosial Dalam Politik
- Pengertian dan Peran Sosial Media
Media sosial atau sosial
media adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah
berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial,
wiki, forum dan dunia virtual.
Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial
adalah media online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial
menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog
interaktif.
Menurut Andreas Kaplan
dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok
aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi
Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated
content[1]”.
Dari berbagai jenis sosial media, Blog dan
Jejaring sosial adalah sosial media yang paling sering digunakan. Jejaring
sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi,
kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan
berkomunikasi. Contoh Jejaring sosial antara lain Facebook, Myspace, dan
Twitter.
Perbedaan sosial media dengan media konvensional
adalah ika media konvensional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka
media sosial menggunakan internet sebagai sarana komunikasinya. Adapun ciri
sosial media adalah sebagai berikut :
• Pesan yang
di sampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa keberbagai banyak
orang contohnya pesan melalui SMS ataupun internet
• Pesan yang di sampaikan
bebas, tanpa harus melalui suatu Gatekeeper
• Pesan yang di sampaikan
cenderung lebih cepat di banding media lainnya
• Penerima pesan yang
menentukan waktu interaksi
Perkembangan tekhnologi,
juga turut serta diringi dengan perkembangan sosial media yang memudahkan
seluruh pengguna untuk mengaksesnya hanya dengan melalui handphone.
Perkembangan inilah yang menjadikan sosial media sebagai media yang efektif
untuk menyampaikan informasi atau sesuatu. Selain digunakan untuk menyampaikan
informasi atau berita, media sosial saat ini marak digunakan untuk berbisnis,
untuk transaksi, bahkan untuk belajar dengan segudang fitur ilmu yang terdapat
didalamnya serta kemudahan dan kecepatannya dalam memberikan informasi atau
sesuatu.
Posisi kemudahan dan
kecepatan sosial media dalam menyampaikan informasi inilah yang membuat peran
sosial media kini penting untuk segala hal, sehingga dipilih sebagai media yang
efektif, bahkan untuk berkampanye.
- Peran Sosial Media Untuk Kampanye
Kampanye merupakan hal
yang tak lepas dalam kompetisi politik untuk mensosialisasikan para figur yang
bertanding. Berbagai cara dan gerakan mereka lakukan untuk menarik suara dan
simpati publik. Salah satunya adalah dengan berkampanye melalui dunia maya yang
memanfaatkan sosial media sebagai sarana komunikasi yang sedang dekat dengan
masyarakat.
Sosial media dianggap sebagai media komunikasi
yang efektif untuk bersosialisasi terhadap masyarakat. dengan memanfaatkan
jejearing sosial yang ada dan banyak digunakan masyarakat seperti twitter,
facebook, blog, dll.
Terbukti, belakangan ini berkampanye melalui
media sosial menjadi trend tersendiri dalam dunia politik terutama menjelang
pilpres 9 Juli mendatang bahkan terdapat gerakan-gerakan khusus dari simpatisan
untuk berkampanye di dunia maya.
Sebagai contoh, dalam
Pilgub DKI Jakarta dua tahun lalu, terdapat gerakan di dunia maya untuk
mendukung Jokowi-Ahok. Mereka menamakan diri dengan Jokowi Ahok Social Media
Volunteers (JASMEV). Gerakan tersebut kini kembali aktif untuk mendukung
Jokowi-JK dalam berkampanye di dunia maya untuk memenangkan pilpres 9 Juli
mendatang.
Tak hanya itu, lawan politik Jokowi-JK,
Prabowo-Hatta juga banyak memanfaatkan sosial media sebagai media kampanyenya.
Meski tidak ada gerakan atau komunitas khusus di dunia maya untuk
Prabowo-Hatta, namun para simpatisan Jokowi-JK bergerak melalui facebook, yaitu
sebanyak 5000 followers.
Selain facebook, Prabowo-Hatta lebih banyak
memanfaatkan website atau blog-blog resmi mereka. Dalam google trends, Prabowo
mengungguli pasangan Jokowi-JK dengan perolehan skors sebanyak 78. Selain itu,
pengunjung blog resmi milik Prabow juga semakin meningkat dengan jumlah saat
ini sekitar 252,15 orang untuk global dan 8,052 orang untuk Indonesia.
Setelah kita pelajari, terbukti bahwa kegiatan
kampanye melalui dunia maya cukup menarik simpati masyarakat dan memilki
jangkauan yang luas dalam berkomunikasi. Namun, apakah sebenarnya kampanye
malalui dunia maya sudah efektif? Adakah kekurangan dari kampanye melalui dunia
maya?
- Kekurangan Kampanye Melaui Sosial Media
Dalam kegiatannya sebagai mesin penjaring suara
masyarakat, tentunya sosial media memilki jangakaun yang luas. Namun ditengah
trendnya yang sedang melambung dimasyarakat, ternyata kampanye melalui sosial
media masing kurang untuk menajngkau masyarakat di daerah-daerah terpencil di
Indonesia seperti pedalaman Kalimantan, dan masyarakat daerah-daerah pegunungan
yang masih jauh dari jangkauan komunikasi elektronik.
Dalam pemanfaatan jejaring sosial, banyak para
oknum yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan jaringan informasi yang
dipublikasikan untuk masyarakat sehingga muncul “Kampanye Hitam” atau “Black
Campaigns”.
“Kampanye Hitam” atau “Black Campaigns” yang belakangan ini
melibatkan media sebagai perantara untuk menyampaikan pesan-pesan yang
sesungguhnya diluar dari etika politik. Black Campaigns atau kampanye hitam
secara terminologi dapat diartikan sebagai kampanye dengan cara jahat yang
dilakukan untuk menjatuhkan lawan politik dengan isu, tulisan, atau gambar yang
tidak sesuai denagn fakta dengan tujuan untuk merugikan dan menjatuhkan orang
lain.
Dalam perspektif etika politik, secara hukum
kampanye hitam merupakan bagian kampanye yang dilarang dalam Undang-undang.
Seperti ditegaskan dalam Pasal 84 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang
Pemilihan presiden dan Wakil Presiden ditegaskan menganai aturan kampanye, yang
melarang sejumlah kampanye sebagai berikut :
1. Kampanye tidak boleh mempersoalkan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Kedua;
2. Kampanye tidak boleh dilakukan yang membahayakan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang,
ras, suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu yang lain;
4. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
5. Mengganggu ketertiban umum;
6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan
penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau
Peserta Pemilu yang lain;
7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye Peserta
Pemilu;
8. Menggunakan fasilitas pemerintah,tempat ibadah, dan tempat
pendidikan;
9. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain
selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan;
10. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada
peserta kampanye.
Kecanggihan dan kemudahan
tekhnologi membuat kampanye hitam juga semakin mudah dilakukan. Seperti yang
pernah terjadi beberapa waktu lalu, sebuah sosial media sempat memberitakan
kampanye hitam yang menimpa capres Jokowi dengan isi sebuah konten foto Jokowi
yang bertuliskan RIP (telah meninggal dunia) Ir, Herbertus Jokowidodo (Oey Hong
Liong). Dalam konten tersebut juga dituliskan para rekan yang turut berduka cita
seperti ketua umum PDIP megawati Soekarnoputri.
Contoh tersebut merupakan
salah satu dari bagian kampanye hitam atau ‘Black Campaigns” yang tidak
mencerminkan etika politik dengan memanfaatkan jejaring sosial untuk menebar
isu yang buruk untuk saling menjatuhkan dalam lawan politik.
Kampanye hitam dapat dianggap sebagai
penyalahgunaan dari kampanye melalui jejaring sosial sehingga dapat kita
simpulkan, kampanye melalui sosial media juga berdampak negatif terhadap
penyebaran-penyebaran isu politik yang negatif yang saling menjatuhkan dan
tidak mendidik bagi masyarakat. Sehingga dalam praktiknya, masih harus
diperlukan pengaturan khusus untuk mengatur mengenai kegiatan dalam berkampanye
melalui sosial media.
Kesimpulannya bahwa kesuksesan dalam sebuah pemilu,
tidak hanya dipengaruhi oleh efektifitas berkampanye melalui sosial media,
sebab interaksi langsung dengan masyarakat lebih diperlukan untuk menjaga jarak
antara pemimpin dengan masyarakatnya dan kesigapan seorang pemimpin untuk
menyelesaikan langsung permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Kehadiran sosial media sebagai media kampanye,
menuntun masyarakat untuk lebih cerdas dalam menyikapi isu-isu politik yang ada
dengan menjunjung tinggi etika politik sebagai cermin masyarakat yang berbudi
pekerti luhur dimata dunia dan mencintai perdamaian.
- Peran Media dan Opini Publik dalam Politik Luar Negeri
Di era yang globalasasi
dan informasi ini hampir tidak ada sesuatu yang tidak tersentuh oleh media.
Piers Robinson dan kawan-kawan mengatakan bahwa pada dasarnya kondisi real saat
ini media massa merupakan suatu hal yang dapat mempengaruhi paradigma,
perspektif dan opini, dan ternyata keberadaan media massa juga dapat
mempengaruhi secara langsung politik luar negeri suatu negara (Piers, 2003).
Bahkan, dengan semakin
meluasnya jangkauan fenomena terhadap realitas, terkadang media juga dapat
menghadirkan sebuah hiperrealitas yang pada akhirnya akan dipercayai sebagai
sebuah realitas. Kondisi ini akan menghasilkan suatu pandangan yang tidak
objektif. Media massa sangat terkait dengan opini publik, ini disebabkan media
massa memiliki akses yang luas atas informasi (Piers, 2003).
Dengan penyajian dan
penggambaran yang dilakukan oleh media, opini publik akan dapat terkonstruksi
sedemikian rupa dalam memandang suatu fenomena. Dalam sebuah pemerintahan,
opini publik berguna untuk mengontrol kinerja pemerintah secara tidak langsung.
Kontrol ini dapat muncul karena opini publik adalah salah satu simbol
legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. Namun, paradoksnya adalah opini
publik lagi-lagi bisa muncul akibat dari produk media massa yang telah mengolah
serta membungkus sebuah fenomena.
Media massa adalah sebuah
komoditas yang mampu membentuk opini publik sehingga seringkali media diarahkan
untuk membentuk satu isu-isu yang tidak objektif demi satu kepentingan tertentu
(Piers, 2003).
Perdebatan yang muncul
mengenai peran media massa serta opini publik dalam pengambilan kebijakan luar
negeri menempatkan pandangan liberalis-demokratis dengan realis pada dua posisi
yang bertentangan. Menurut liberalis-demokratis, media massa dan opini publik
memiliki peran aktif dan positif guna menjaga dan membatasi para pembuat
kebijakan dengan mengedepankan akomodasi dan akuntabilitas publik sehingga akan
tercipta pemerintahan yang stabil (Holsti, 1992). [2]
Sedangakan menurut realis
skeptis berpendapat bahwa media massa dan opini publik hanya akan menjadi
penghambat dari pelaksanaan pemerintahan karena media massa dan opini publik
tidak memiliki dimensi rasionalitas yang stabil dan cenderung dibangun
berdasarkan hiperrealitas dan emosionalitas saja yang tidak kontributif
terhadap keberlangsungan pemerintahan. Opini publik adalah sebuah hal yang
sangat terpengaruh oleh banyak variabel diatranya adalah media dan perspektif
masyarakat (Fearan, 1998).[3]
Dalam hal ini iperlukan sebuah diplomasi
publik untuk memberikan signifikansi pada politik luar negeri agar dapat
melibatkan masyarakat secra luas ke dalam politik luar negeri. Opini publik
juga sangat menentukan dalam politik luar negeri, seperti kebijakan Amerika
Serikat untuk menginvasi Irak dan Afganistan yang mendapatkan tentangan dari
publik Amerika Serikat yang akhirnya memaksa pemerintah Amerika Serikat untuk
mempertimbangkan lagi kebijakan tersebut.
Media massa dengan
kebijakan luar negeri juga memiliki hubungan yang relatif dekat. Kebijakan luar
negeri banyak dimainkan dan diciptakan oleh elit dan para pembuat kebijakan
yang tentu saja merupakan pejabat pemerintahan ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh James Fearon.
Sedangkan media massa dan
opini publik tidak serta merta dapat menembus gedung-gedung dan kantor-kantor
pemerintahan jika memang tidak begitu kuat mempengaruhi para elit pembuat
kebijakan senada dengan apa yang dikatakan oleh Holsti. Sehingga tidak jarang
media massa dan opini publik hanya dianggap sebagai angin lalu oleh para
pembuat kebijakan. Media yang cenderung terlalu berlebihan dalam merespon
sesuatu adalah salah satu sebab mengapa kemudian banyak pihak menilai media
tidak memberikan pandnagan yang objektif.
- Media Massa Sebagai Alat Pertarungan Elit Politik
Seperti yang kita ketahui
bahwa media massa mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kehidupan
manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa hampir pada setiap aspek kegiatan manusia,
baik secara pribadi maupun umum, selalu berhubungan dengan aktifitas komunikasi
massa. Hasrat interaksi antar individu atau masyarakat yang tinggi tersebut
menemukan salurannya yang paling efektif dan terandalkan dalam berbagai bentuk
media massa, guna saling berkomunikasi dan bertukar informasi.
Dalam perkembangannya,
media massa memang sangat berpengaruh di wilayah kehidupan sosial, budaya,
ekonomi, hingga politik. Dari aspek sosial-budaya, media adalah institusi
sosial yang membentuk definisi dan citra realitas serta dianggap sebagai
ekspresi sosial yang berlaku umum; secara ekonomis, media adalah institusi
bisnis yang membantu masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari berbagai usaha
yang dilakoni; sedang dari aspek politik, media memberi ruang atau arena
pertarungan diskursuf bagi kepentingan berbagai kelompok sosial-politik yang
ada dalam masyarakat demokratis.
Oleh karena begitu
vitalnya peran media massa dalam berbagai aspek kehidupan publik, maka memicu
banyak pihak dari golongan politik tertentu yang mencoba memanfaatkan media
massa sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan secara hegemonik kerap
memaksakannya kepada publik. Diantara mereka bahkan mampu menguasai media
secara keseluruhan, yakni menjadi pemilik perusahaan media massa.
Hal seperti ini juga
terungkap dalam teori ekonomi-politik media yang dikemukakan oleh Golding dan
Murdock. Dengan memakai pendekatan strukturasi Giddens, mereka menguraikan
bahwa media massa memang telah menjelma sebagai industri yang menjual produk
berupa informasi untuk dikonsumsi masyarakat demi memperoleh profit bagi
pemiliknya.
Pola ini telah menggurita
secara global dalam suatu sistem kapitalisme media, dimana media massa berperan
penting sebagai agen ideologis yang membentuk pola fikir dan memandu perilaku
konsumennya. Nilai umum yang biasanya ditanamkan adalah perihal memacu hasrat
konsumsi, pandangan hidup liberal, melegitimasi wacana investasi dan pasar
bebas, hingga memassifkan budaya trend-popular dan sebagainya.
Namun, pendekatan
strukturasi ini juga melirik bahwa determinasi kapitalisme global menjadi
satu-satunya penentu nilai-nilai apa yang akan disebar melalui media massa
tidaklah patut diterima begitu saja. Sebab, dalam rantai strukturnya, terdapat
agen-agen lokal yang memiliki peranan aktif dan kreatif dalam proses
pengendalian pengaruh media massa terhadap pembentukan opini publik sesuai
dengan kepentingan politis yang hendak dicapai golongannya (Sunarto, 2009[4]).
Sebagai contoh yang
paling kasat mata, misalnya ANTV dan TV
One adalah kepunyaan dari Aburizal Bakrie ketua umum partai Golkar, sedangkan
Surya Paloh sebagai ketua umum partai Nasdem merupakan pemilik dari Metro TV
dan harian cetak Media Indonesia Group, kemudian MNC Media Group yang meliputi
MNC TV, RCTI, Global TV, dan harian cetak Sindo berada di bawah kepemilikan
Hary Tanoesoedibjo yang juga menjadi ketua dewan pertimbangan partai Hanura
sekaligus ketua umum ormas Perindo. Ketiga sosok pemilik media massa ini
bukanlah pengusaha biasa, namun juga praktisi politik. Maka, disadari ataupun
tidak, ini berdampak pada kecenderungan media tersebut mengarahkan gagasan
politik dan pencitraan tokoh masing-masing ke dalam setiap pemberitaannya.
Pada dasarnya, secara
ideal, pemberitaan media massa haruslah sesuai dengan azas dan prinsip
jurnalistik yang berlaku secara universal, yakni menjunjung tinggi azas
objektifitas, akurat, adil, berimbang, dan menegaskan posisi netralitasnya.
Selain itu, wajib hukumnya setiap pelaku jurnalistik dalam pemberitaannya untuk
menaati kode etik. Privatisasi atau kepemilikan pribadi maupun kelompok atas
perusahaan media massa sebenarnya bukanlah masalah, sepanjang pemberitaan yang
disebarkan kepada masyarakat luas senantiasa tunduk pada azas serta prinsip
ideal tersebut.
Menjadi masalah kemudian,
apabila terjadi penyimpangan terhadap fungsi media sebagai sarana komunikasi
massa yang mengutamakan kepentingan publik, terutama jika hal ini dilakukan
oleh sang pemilik modal itu sendiri. Sebagai pemilik dari suatu perusahaan
media, tentunya mereka memiliki kuasa lebih untuk mengintervensi kebijakan
redaksi. Sayangnya, beberapa pihak yang disebut di atas maupun pihak lain yang
mengindikasikan fenomena serupa justru beralih memanfaatkan situasi ini untuk
memuluskan proyek politik pribadi maupun golongannya saja, sehingga
objektifitas pemberitaan sebagai syarat bagi informasi yang dibutuhkan oleh
masyarakat demokratis telah dikesampingkan.
Sekarang ini, fenomena
pemanfaatan media massa sebagai alat politik bagi pertarungan kepentingan elit
tertentu telah menjadi gejala umum yang terus menjalar tidak hanya di ranah
nasional tetapi juga di daerah. Berbagai ajang pencitraan yang berlebihan,
tendensi sikap yang diskriminatif terhadap golongan atau tokoh tertentu, serta
berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan pun kerap dengan mudah kita
jumpai.
Kondisi seperti ini
merupakan paradoks dilematis yang telah menciderai kehidupan masyarakat
demokratis, dimana setiap orang memiliki hak untuk memperoleh informasi publik
yang objektif. Sementara media massa sebagai sarana pemenuhan informasi paling
mainstream justru mulai ditunggangi oleh elit politik tertentu yang
berkepentingan mengarahkan pilihan politik masyarakat kepada apa yang dia
munculkan sebagai pilihan tunggal.
Sebagai konsumen
informasi, masyarakat tidak boleh terus menerus pasrah melihat keadaan ini,
nalar kritis haruslah dijadikan pedoman setiap menerima informasi publik dari
media manapun. Jangan pula kondisi ini membuat kita menjadi apatis dan
cenderung tak pro aktif mengikuti perkembangan informasi publik, karena justru
hanya akan merugikan kita. Upaya konfirmasi dan komparasi dengan media massa
lain tentang suatu tema pemberitaan yang sama haruslah dijadikan pertimbangan
sebelum kita menentukan kesimpulan sendiri.
Sebagai insan media,
tentu hal ini patut kembali direnungkan, baik oleh mereka kuli tinta di
lapangan maupun dibalik meja redaksi, mengingat kembali pentingnya berkeras
menegakkan idealisme jurnalis yang menitipkan tanggung jawab objektifitas
pemberitaan informasi publik dengan pedoman tunggal, yakni mengutamakan
kepentingan masyarakat umum, bukan golongan apalagi elit tertentu saja.
Berpolitik praktis secara aktif tentu menjadi hak bagi setiap orang, namun akan
lebih bijaksana jika pengusaha pemilik industri media massa lebih mengedepankan
profesionalisme dalam menjalankan bisnisnya. Bukankah perjuangan politiknya
haruslah meraih legitimasi publik secara demokratis, bukan dengan pemaksaan
terselubung seperti yang nampak selama ini.
- Media Dalam Kontrestati Politik
Dalam menyemarakkan pesta
demokrasi ini, media, baik cetak maupun elektronik tentulah punya peran sangat
dominan. Tak bisa dimungkiri bahwa pemberitaan melalui media massa punya
pengaruh sangat besar dalam memengaruhi persepsi publik. Tidak heran, beberapa
media nasional pun terindikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan
penyimpangan dalam pemberitaan menjelang pemilihan presiden.
Beberapa media
mengeksploitasi kekurangan pasangan calon tertentu yang bertujuan untuk
menjatuhkan. Kampanye negatif pun marak disuguhkan kepada publik hari ini.
Benarlah kata Kieran di atas bahwa berita tidaklah dibentuk dari ruang yang
hampa. Berita diproduksi dari ideologi yang dominan. Ideologi itulah yang
memengaruhi framing (pembingkaian) dalam pemberitaan. Oleh karena itu, publik
seharusnya memahami ideologi di balik sebuah media.
- ”Framing” Dan Ideologi
Dalam dunia jurnalistik tentulah tidak asing lagi
istilah framing dalam pemberitaan, yakni berkaitan dengan bagaimana realitas
dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Sebuah berita bisa jadi dibingkai dan
dimaknai secara berbeda oleh media. Proses membingkai dan menyajikan fakta itu
sendiri sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dimiliki media tersebut.
Peta ideologi
menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat
tertentu. Ideologi juga memengaruhi bagaimana sesuatu itu dibahasakan sehingga
menghasilkan makna atau pesan yang berbeda.
Di situlah letak kekuatan
bahasa yang mampu menguasai publik yang mengonsumsinya. Kekuasaan itu sendiri
tidak terlepas dari bahasa. Maka, media pun bertarung dalam bahasa yang
dibingkai, yang sangat dipengaruhi oleh ideologi atau kepentingan dari media
tersebut.
Penulis yakin sebagian
besar rakyat Indonesia yang menonton kontestasi politik hari ini mengatakan
Jokowi-JK baik dan Prabowo-Hatta kurang baik, atau sebaliknya, lebih karena
pemberitaan lewat media. Bukan karena mengetahui secara dekat tokoh
tersebut.Proses pembingkaian dalam pemberitaan oleh beberapa media inilah yang
mendapatkan perhatian dari KPI. Media televisi seperti TVOne, RCTI, MNC TV, dan
Global TV memiliki porsi pemberitaan yang lebih banyak untuk kandidat nomor
urut satu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sebaliknya, MetroTV dinilai lebih
banyak memberikan porsi pemberitaan untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Model pembingkaian
pemberitaan yang berbeda tersebut tentulah dipengaruhi oleh kepentingan
(ideologi) dari masing- masing media, di mana ideologinya lebih banyak
ditentukan oleh kepemilikan media tersebut. TVOne, misalnya, lebih banyak
memberikan porsi pemberitaan untuk pasangan Prabowo-Hatta karena Aburizal
Bakrie selaku pemiliknya adalah koalisi politik Prabowo-Hatta dalam menghadapi
pilpres mendatang.
Begitupun RCTI, MNC TV,
dan Global TV yang dinilai lebih berpihak pada pasangan nomor urut satu
tersebut karena Hary Tanoesoedibjo, pemiliknya, berlabuh ke gerbong
Prabowo-Hatta setelah gagal mendapatkan target politiknya bersama Wiranto dan
partainya, Hanura.
Sementara MetroTV
cenderung mengangkat pasangan Jokowi-JK karena pemiliknya, Surya Paloh—yang
juga Ketua Umum Nasdem—bergabung dalam barisan Jokowi-JK. Itulah yang
memengaruhi perbedaan dalam proses membingkai dan membahasakan apa pun terkait
dengan pasangan tersebut.
Seperti itulah peran
media dalam kontestasi politik untuk memilih pemimpin 9 Juli nanti. Tentu
banyak media lokal lainnya yang terperangkap oleh ideologi dari pemiliknya
dalam membingkai berita terkait dengan kedua pasangan tersebut, mengangkat atau
menjatuhkan.
- Pengaruh Media
Sudah cukup lama Alvin
Toffler menuliskan fenomena ini bahwa yang akan kita peroleh bukannya
demokrasi, melainkan teknokrasi, di mana kekuasaan politik dimonopoli oleh
kelas ketiga (pemilik media). Lebih dari 10 tahun silam, Silvio Berlusconi
berhasil merebut kursi kekuasaan di Italia karena menguasai media. Kita pun
akrab dengan jargon bahwa siapa yang menguasai media maka dialah yang menguasai
dunia. Contoh lain adalah tergulingnya Muhammad Mursi dari kursi kepresidenan
Mesir, awal Juli 2013, tidak lepas dari ketidakberpihakan media kepada dirinya.
Seperti itulah pengaruh
media dalam kancah politik saat ini, baik nasional maupun internasional. Media
menjadi sangat menentukan untuk membunuh atau mengangkat sang tokoh. Menyadari
pentingnya peran media itulah yang membuat para capres berlomba menggaet kelas
ketiga di atas, pemilik media. Untungnya, para pemilik media tidak hanya
berlabuh dalam satu gerbong koalisi sehingga terjadi kontestasi dalam
memengaruhi publik lewat media.
Peran media memang sangat
besar dalam memunculkan figur tertentu sebagai pemimpin, tetapi media bukanlah
segalanya. Rakyat Indonesia baru saja mendapatkan pelajaran dari hal tersebut,
yakni menjelang pemilihan anggota legislatif 9 April lalu.
Saat itu Partai Hanura
lebih awal mendeklarasikan pasangan capres-cawapresnya, yaitu Wiranto-Hary
Tanoesoedibjo (HT). Setelah itu, kedua tokoh ini hampir setiap saat dapat
disaksikan oleh masyarakat Indonesia lewat jaringan televisi milik HT, MNC TV
Group. Faktanya, dalam pileg lalu, Hanura adalah peraih suara paling sedikit
dari parpol yang lolos electoral threshold.
Artinya, walaupun punya
pengaruh yang sangat besar, media bukanlah segalanya. Apakah kekuasaan politik
Indonesia ke depan akan ditentukan oleh kelas penguasa media? Rakyatlah yang
menentukan dan berbicara. Yang pasti, kita berharap rakyat harus lebih pandai
mengonsumsi pemberitaan lewat media yang tidak lahir dari ruang yang hampa.
BAB III
PENUTUP
Inilah peran sentral dari media massa yang saat ini dijadikan alat
ataupun senjata bagi individu/kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan
politik. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa kelompok kepentingan
atau dalam hal ini adalah partai politik sangat erat hubungannya terhadap
pentingnya peran media itu sendiri. Apalagi mengingat media massa yang telah
diberikan hak kebebasan untuk mengeluarkan suara atau opini-opini public baik
itu tentang kebijakan pemerintah atau isu-isu politik yang lain.
Dalam peranannya media massa saling berhubungan erat dengan
individu/masyarakat, partai politik, komunikasi politik, dan budaya/partisipasi
politik di Indonesia. Pada intinya dalam dunia politik, atau kalau merujuk pada
masalah Pemilu legislative dan eksekutif, para actor dan masing-masing partai
politik untuk mendapatkan simpati dari masyarakat harus melakukan komunikasi
politik terhadap masyarakat (suara pemilih) secara tepat agar isu-isu politik
dan kepentingan politik tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Agar komunikasi politik yang diharapkan dapat teraktualisasi secara
tepat, maka butuh wadah atau media yang memfasilitasi, yaitu media massa. Media
massa disini dapat berbentuk media cetak seperti koran, majalah, rekalame,
pamflet, sticker, ataupun media massa elektronik seperti televisi, radio, dan
Internet. Bahkan dapat melalui media massa dengan bentuk turun lapangan
langsung.
Dengan adanya komunikasi politik melalui media massa, partai politik
dalam mencapai tujuan kepentingan politiknya akan mudah tersampaikan pada
masyarakat. Dengan demikian, bisa saja masyarakat yang mempunyai hak suara
dalam Pemilu akan menggunakan hak suaranya untuk memilih partai politik yang
mempunyai kedekatan emosional terhadap pemilik hak suara tersebut. Hal ini
secara tidak langsung berpengaruh terhadap tingakat partisipasi politik
masyarakat Indonesia dalam Pemilu laegislatif/eksekutif.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Cangara, H. (2009). Komunikasi Politik. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.hlm.34
Miriam
Budiardjo (2010). Dasar-dasar ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. Hlm.152.
2)
Prentice - Hall. hlm.166. Kegiatan politik merupakan suatu
interaksi atau dapat dikatakan adalah suatu kegiatan berkomunikasi antara
orang-orang. Politik sangat berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan
komunikasi. Salah satu kajian penting dalam kegiatan politik yaitu bahwa semua
kegiatan politik sangat berhubungan dengan komunikasi
3)
Rakhmat, J. (1993). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, Media.
Bandung: Remaja Rosdakarya Offest.Hlm.8.
3)
4)
Roskin, M. (1977). Political Science An Introduction, Sixt
Edition. New Jersey: